Halaman

DEDDY IRAWAN MANURUNG hasilnya Contoh Tulisan Berjalan

Sabtu, 22 Desember 2012

Balada deddyi: Mencintai (Part III)

Hangat, menentramkan. Ini bukan hangat biasa, karena cintalah yang menghangatkannya. Hujan badaipun terasa ringan dilalui, demi menggapai inginnya. Tatkala cinta semakin besar, cinta pula yang membuatnya sadar, bahwa dari rasa peduli dan penghirauan masa lalu semuanya berakar. Kapas yang ringan terasa berat bila jauh, batu yang berat terasa ringan bila dekat. Hingga semua harus terjadi, menjauhnya dua cinta, walau sementara, tapi terasa lama. Dingin, membekukan. Ini bukan dingin biasa, karena rindulah yang mendinginkannya. Jalan menurun terasa lelah dipijaki, karena lama tak bertemu sang cinta sejati. Tatkala rindu semakin besar, rindu pula yang membuatnya sadar, bahwa dari rasa bahagia dan kenyamanan saat bersamanya semua berakar. Keyakinan akan kembali jumpa seakan menambah rasa rindu itu. Hingga keletihan berakhir, bahagia menyelimuti, rindupun terobati. ——————— Hari demi hari telah Rudi dan Ami lewati, tampak jelas bagi Ami bahwa Rudi menyukainya, namun berlainan dengan Rudi, ia begitu ragu apakah Ami menyukainya. Kadang terpikir oleh Rudi untuk menyerah saja, begitu ia mengetahui Ami masih sering mengingat sang mantan. Namun semua niat Rudi untuk menyerah diabaikannya ketika ia tahu, bahwa Ami masih sering mengingat sang mantan karena ia telah dicampakkan. Rudi menjadi semakin giat mendekati Ami, dan Ami juga sama sekali tidak menunjukkan keberatannya untuk didekati oleh Rudi. Mereka sering berjalan berduaan, berolahraga pagi bersama-sama, dan bernyanyi bersama, hingga teman-teman terdekat mereka menyangka bahwa mereka telah berpacaran. Setiap mereka ditanya mengenai status hubungan mereka, baik Rudi maupun Ami hanya tersenyum ataupun tertawa saja, hingga orang yang menanyakannya malah menjadi kebingungan. Namun tampaknya bukan hanya sang penanya yang kebingungan, karena sebenarnya Rudi dan Ami juga kebingungan harus menjawab apa. ——————— Saat itu merupakan hari ke-7 di bulan Ramadan, bulannya berpuasa bagi umat Islam sedunia. Yang berarti merupakan sehari sebelum hari keberangkatan Ami ke kampung halamannya di Pariaman. “Rudi, aku ingin makan buah delima dan kesemek” “Aduh, bagaimana ya? Buah itu kan sudah jarang ada di Jakarta” “Haha aku mengidam tampaknya Rud, ayo kita cari buah-buah itu untuk berbuka puasa” “Ah kamu ini ada-ada saja Mi, belum juga pacaran sudah ngidam, kenapa tidak beli es buah saja untuk buka puasa?” “Aku tidak mau tahu, pokoknya kamu harus mencari buah-buahan itu, kalau tidak, aku akan marah” kata Ami sambil memasang wajah cemberut berharap Rudi akan mengalah. “Baiklah, aku benar-benar tidak tahan melihat wajah kamu yang jelek begitu” “Haha kamu gak sadar ya kalau kamu itu lebih jelek?” balas Ami. “Ih, dasar…” kata Rudi sambil memencet hidung Ami. “Ayo sana kamu cari buahnya, aku tunggu di sini ya” kata Ami yang sebenarnya sedang berguyon. “Enak saja kamu, ayo kita cari bersama, kita cari di Bogor saja, sekalian kita ngabuburit menunggu azan magrib” kata Rudi. Mereka berdua akhirnya bersiap untuk berangkat menuju Bogor dengan menggunakan kereta. Tak lupa Ami membawa sebotol air mineral untuk persiapan berbuka puasa apabila azan magrib telah berkumandang sewaktu mereka di dalam perjalanan. Di dalam hati, Ami berharap di Bogor nanti ia akan melalui berbagai hal menyenangkan bersama Rudi saat mencari buah-buahan keninginannya. Terlintas pula di benaknya, akankah Rudi berani untuk menyatakan cinta padanya. Rudi-pun berharap demikian, ia sudah memiliki berbagai rencana setibanya di Bogor nanti, dan salah satunya adalah menyatakan perasaannya secara terang-terangan kepada Ami. ——————— Kereta yang mereka tunggu akhirnya tiba, sebuah kereta yang menuju ke arah selatan dengan jurusan stasiun Bogor dengan 8 gerbong yang saling terhubung. Rudi dan Ami bergegas menaiki kereta tersebut. Mereka sebenarnya risih, karena kereta tersebut amat penuh, penumpangnya berdesakan. Berdesak-desakan di dalam kereta sepertinya sudah biasa dialami oleh para penumpang, terkecuali Rudi, ia jarang menaiki kereta ketika berangkat ke kampusnya. Di dalam gerbong, Ami berpegangan pada tangan Rudi, sedangkan Rudi sendiri berpegangan pada tiang penyangga tempat untuk meletakkan barang bagi penumpang kereta. Sepasang mata tajam menatap bagian belakang celana jeans Rudi, tentu tanpa sepengetahuan sang empunya celana. Pemilik mata itu jelalatan menatap ke sekitarnya, untuk meyakinkan dirinya bahwa ia melakukan pekerjaannya dengan benar. Ia adalah seorang copet yang sedang menunggu kesempatan untuk dapat menyelipkan tangannya ke dalam kantong belakang celana Rudi. Hingga akhirnya kesempatan itu datang. Kereta sudah berhenti di stasiun pertama sejak Rudi dan Ami menaiki kereta tersebut. Para penumpang yang ingin turun saling berjejal berdesakan untuk keluar dari gerbong tersebut. Tangan Ami yang sedang berpegangan dengan Rudi terlepas dan mereka terpisah. Tak beberapa lama, pintu kereta otomatis itu kembali menutup, dan gerbong kereta sudah mulai agak lowong. Rudi menyadari ada yang aneh, ia merogoh ke dalam kantong belakang celananya, seketika wajahnya terlihat panik bukan main. Wajah sawo matangnya berubah menjadi pucat. Ami yang mengetahui gelagat aneh dari Rudi segera menghampirinya. Rudi menatap lekat wajah Ami dengan ekspresi sedih, Ami yang sadar bahwa ada yang tidak beres kemudian bertanya kepada Rudi. “Ada apa Rudi?” “Dompetku, di mana dompetku?” kata Rudi dengan panik. “Coba kamu cari dulu di dalam tasmu, mungkin kamu menaruhnya di sana” jawab Ami yang kali ini juga ikut panik. “Tak ada” kata Rudi sambil merogoh ke dalam tas sanggulnya, “aku tak menaruhnya di tas, aku yakin sekali, aku menaruh di dalam kantong celana” “Rudi, kamu sekarang tenang, jangan sampai kamu kehilangan pegangan di saat kamu kehilangan barang berhargamu” kata Ami mencoba untuk menenangkan. Rudi merasa badannya lemas, rasa kehilangan dompetnya itu benar-benar menguasai pikirannya. Ami yang mengetahui bahwa Rudi sedang dilanda kebingungan kemudian mendekati Rudi. Ami segera memegang lengan teman lelakinya itu, dan kemudian mengajaknya untuk turun di stasiun berikutnya untuk melaporkan kehilangan ini kepada pihak berwajib, yang dengan segera diiyakan oleh Rudi. Tak sampai semenit, kereta yang mereka naiki sudah sampai di stasiun berikutnya. Rudi dan Ami turun bersama beberapa penumpang lainnya. Mereka berjalan di pinggir peron, Ami masih merangkul lengan Rudi, ia tak tega untuk melepaskan rangkulannya pada lengan Rudi di saat-saat seperti ini. Rangkulan tangan itu membuat Rudi sedikit tenang dan bisa lebih tegak berjalan. Sesekali Ami melirik ke wajah Rudi dengan tatapan iba, Rudi yang masih merasa kehilangan itu tidak membalas lirikan Ami. “Sebenarnya aku benar-benar ikhlas bila harus merelakan uang di dalamnya. Hal yang membuatku gundah adalah kehilangan STNK motor milik ayahku. Baru saja tadi pagi beliau selesai membayar pajak kendaraannya serta memperbaharui STNK-nya, dan sekarang aku menghilangkannya, aku amat takut” kata Rudi. “Sudahlah Rud, ayahmu pasti akan mengerti keadaan ini, ini adalah musibah” “Aku benar-benar takut Mi” “Ayahmu adalah orang baik, ia pasti mengerti” kata Ami sambil tersenyum. Rudi tidak membalas senyuman Ami, raut wajahnya masih menunjukkan rasa kesedihan mendalam. Menghilangkan milik orangtua merupakan hal yang menakutkan bagi Rudi, ia merasa bahwa dirinya bukanlah orang yang bertanggungjawab. Dan walaupun ayah Rudi jarang marah, namun pernah sekalinya ayah Rudi marah, ia ditamparnya, itu yang membuatnya amat takut. “Ayo, itu ada satpam stasiun, kita tanyakan kemana harus melapor” ajak Ami begitu ia melihat ada satpam di di ujung peron. Sang satpam mengarahkan mereka berdua untuk masuk ke dalam kantornya, di sanalah mereka memberikan keterangan apa-apa yang ada dalam dompet tersebut serta detail kejadiannya. Selesai melapor, Rudi diberikan secarik kertas yang berisi laporan kehilangan dengan cap resmi dari stasiun tersebut, lalu keduanya bergegas untuk keluar. Mereka berdua kemudian membeli tiket untuk kembali ke Jakarta, dan rencana-rencana yang mereka susun akhirnya batal terlaksana. Rudi tidak sempat lagi untuk memikirkan rencananya tadi, yaitu menyatakan cinta kepada Ami. Pun Ami, ia tidak lagi berpikir untuk mencari buah-buahan yang ia idamkan. “Rudi, maafkan aku ya” kata Ami dengan wajah sedih, “seandainya aku tidak memaksa untuk mencari buah-buah itu, mungkin ini semua tak akan terjadi” “Ah, sudahlah Ami, ini bukan salahmu, ini adalah salahku. Aku terlalu ceroboh menaruh dompet di kantung celana saat kereta sedang penuh” balas Rudi. “Tapi kamu tidak apa-apa? Aku merasa sangat tidak enak hati” kata Ami. “Kau tahu Ami? Aku lebih baik kehilangan dompet beserta isinya itu daripada harus kehilangan kamu” kata Rudi. Ami yang mendengar itu kemudian tersipu malu, dan dengan segera sadar bahwa dirinya sedang digombali. “Huek, gombal dasar” kata Ami sambil memeragakan orang yang sedang muntah. “Hahaha, tapi itu benar kok” kata Rudi sambil tertawa. “Woooo… Tadi cemberut, sekarang ketawa-ketawa” kata Ami sambil menyentuh pinggang Rudi, yang seketika membuat Rudi kegelian. Mereka berdua kemudian tertawa. ——————— Setengah jam sebelum waktunya berbuka puasa, Rudi dan Ami telah sampai di tempat kos Ami. Kegalauan Rudi sudah mulai berkurang. Di perjalanan tadi, Ami menyempatkan dirinya untuk membeli beberapa buah mangga untuk berbuka puasa. Sembari menunggu saatnya berbuka puasa, Ami mengupas beberapa mangga di selasar kos tempat duduk-duduk tamu. Rudi dengan sabar menunggu dan memerhatikan wanita yang disukainya itu, hingga beberapa saat kemudian, waktu berbuka pun tiba. Mereka memakan mangga itu dengan lahap, ditemani oleh dua gelas teh manis yang Ami pesan. Sambil memakan mangga, mereka bercanda hingga tertawa terbahak-bahak, dan tak lupa juga saling menyuapi mangga tersebut. Semua yang ada di dekatnya pasti mengira bahwa mereka sedang pacaran. Selesai memakan mangga, mereka beribadah, Rudi beribadah di masjid dekat tempat kos Ami, sedangkan Ami beribadah di kamarnya. Sepuluh menit kemudian, Rudi dan Ami sudah kembali ke tempat mereka tadi duduk. Ami mengusulkan untuk makan di warung nasi di sekitar tempat kosnya, dan Rudi menyetujuinya. Rudi dan Ami makan dengan lahap, karena telah melalui kejadian yang melelahkan, bukan melelahkan fisik, tapi melelahkan pikiran. Hingga beberapa lama mereka makan, merekapun menuju tempat Rudi memarkirkan motor. Saat itu sudah pukul delapan malam, dan sudah waktunya memang bagi Rudi untuk pulang. “Saat begini, aku sangat ingin untuk terus di sini Mi” kata Rudi. “Tenang Rud, aku yakin pasti ayahmu akan memaafkanmu” “Bukan itu saja yang membebani pikiranku Mi, kepulanganmu menuju Pariaman itulah yang membuat beban pikiranku bertambah” “Kenapa bisa begitu Rud?” “Umm… Sepertinya aku akan rindu sama kamu, dan aku khawatir” “Haha, jangan khawatir Rud, Insya Allah aku akan sampai di Pariaman dengan selamat. Makanya kamu berdoa terus ya, lagipula aku cuma sebulan kok di sana” “Ami, sebulan itu lamaaaaaa” kata Rudi sambil menunjukkan raut wajah kesedihannya. “Sebentaaaaar” balas Ami. “Mi, cepat kembalinya ya” “Rud, aku hanya akan di sana selama sebulan, dan hanya sebulan itulah waktuku bersama keluargaku, dan ketika aku sudah ke sini lagi kau akan selalu bersamaku” kata Ami mencoba menenangkan Rudi. “Baiklah Mi, hati-hati ya besok, bilang sama pilotnya jangan ngebut, aku pulang dulu ya” “Iya, hati-hati ya Rudi” “Assalamu’alaikum Ami” “Wa’alaikumussalam Rudi” Belum motor Rudi melaju satu meter, ia kemudian mengerem secara mendadak dan kemudian melirik ke Ami yang masih berdiri di dekat motor Rudi. “Ada apa Rud? Ada yang tertinggal?” tanya Ami. “Iya, ada. Hatiku tertinggal, tolong dijaga ya” kata Rudi. Sedetik kemudian, kelitikan dahsyat menyerang pinggang Rudi. Rudi yang tak tahan geli itupun kaget dan tertawa sambil menjalankan motornya. “Aku pulang ya Mi” kata Rudi. “Iya, hati-hati Rudi, dadaaaaaah” Dengan perasaan campur aduk, Rudi mengendarai motornya menerobos kemacetan ibukota. Hingga 1 jam kemudian, ia sampai di rumahnya. Ia bersiap untuk menerima kemarahan dari orangtuanya. Namun ternyata perkiraannya salah, ayahnya tidak memarahinya sama sekali, hanya ibunya saja yang sedikit panik mendengar cerita Rudi. Setelah berbalas pesan dengan Ami, Rudi akhirnya tertidur pulas sumber artikel ;http://rojakreza.com/2012/10/balada-rudi-mencintai-part-iii.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar